Selasa, 21 Agustus 2012

Tawa Tangis Tua

Heran.. Miris..
Pada tiap garis tak lurus di kiri kanan wajah, kisah itu bermula dan berakhir.
Serasi dengan keriput, kisah itu berlipat tak pula lurus.
Tetap saja sempat si raut runcingkan ujung bibir, pun pamerkan rentetan gigi yang hilang satu dua.
Lalu guna apa runcingan bibir, jika mata inginkan redup hingga air hujani keriput.?
Tugasmu usai, suapan beras yang harusnya kau makan sudah jadikan bocahmu sanggup suapi dirinya.
Hingga ia lupa bercita hendak suapimu kelak kala rentamu menyusul.



            Perjuangan  merawat ‘perut buncit’ plus kesakitan saat ngeluarin bayi di dalamnya hingga sekedar ngasih ASI atau bahkan kasih sayang, semua nampaknya bukan hal yang ‘wajib’ disesali jika lagi-lagi atas alasan uang dan malu. Seenaknya saja para mantan perut buncit itu membuang bayi mereka di teras panti asuhan bahkan tong sampah. Belum  sempat si bayi merengek inginkan ASI, ia sudah harus menjerit kesulitan bernafas pun kesakitan digigit nyamuk. Beruntung jika ada yang menggendongnya pulang, lantas jika tidak.?!?. Entahlah.
            Tapi kali ini aku belum berselera mengisahkan ‘bayi tong sampah’ itu. Terlalu panjang. Terlalu emosional.
            Aku hanya masih ingin mengisahkan ‘mereka’ lain, dengan nasib tak jauh berbeda. Menyedihkan.  Mereka yang tak membuang  bayi dan menyiakan sakit saat melahirkannya. Mereka yang gembira di tiap detik rengekan bayinya meminta ASI. Mereka yang tak ingin biarkan bayinya tumbuh tanpa  kasih sayang dan cintanya. Namun mereka yang  tak pernah berharap terbuang dan teracuh di saat rentanya.
            Kukisahkan pada mereka -para bayi- yang beruntung tak bernasib sama dengan bayi tong sampah itu. Yang seharusnya gigit jari jika bayangkan hal serupa terjadi pada mereka. Yang tumbuh bak perawan dan perjaka atas gendongan hangat di sela ketiak ibunya. Mereka  bayi beruntung. Sangat beruntung, kubilang.
            Mulanya, aku merinding melihat tayangan di salah satu stasiun TV swasta. Menceritakan tentang para ibu dan ayah lansia yang mengharap bocahnya datang menjenguk mereka barang sebentar. Meski berbekal kehidupan yang ditopang oleh lembaga panti jompo, mereka tetap rindukan bocahnya.
Saat itu, kamera tertuju pada sepasang kakek nenek. Duduk nikmati sore di  teras panti jompo. Sadar akan kunjungan tim acara TV tersebut, mereka tampak malu-malu tersenyum pada kamera. Salah tingkah, tepatnya. Lantas seorang tim menghampiri mereka. Cukup satu pertanyaan saja, "Kakek sama Nenek sedang apa disini?". Seakan ingin langsung sampaikan isi hati mereka, satu jawaban pun cukup, "Jenguk bapak ibumu ini, nduk”, samar suara seorang kakek berwajah termakan keriput itu. Tak ada pertanyaan lagi. Hanya satu saja. Aku yang hanya penonton acara TV tersebut sudah bisa memahami. Di teras itu mereka menanti anak-anaknya. Bulu kudukku berdiri. Serasa persediaan air mataku keluar tanpa permisi. Sesekali, kakek nenek itu tertawa dengan guyonan yang -menurutku- tak lucu tapi sukses membuat mereka sedikit menepi dari pahit dan sepinya hidup.
Ah.. apa ini?. Aku tahu aku bukan termasuk kategori anak yang patuh pada orang tua. Tapi aku mencintai mereka. Pun menyayangi dengan caraku sendiri. Dengan niatku membuat mereka bangga padaku kelak. Hingga tak ada rasa sia telah membesarkanku. Bukan mengacuhkan dan membiarkan mereka merengek meminta bocahnya datang atau bahkan meminta agar mereka diakui sebagai orang tua.
Sadarilah, dulu tangan keriput itu yang membuang berak dan kemihmu. Bibir tipis itu pula yang menciun ubunmu dengan bisikan bait indah pada Tuhanmu. Lalu, apa lagi yang kau ingini darinya? sampai-sampai kau tak sudikan waktumu sekedar  menyuapi dan menyisir ubannya. Sungguh bukan ini yang bapak ibumu harap saat pertama mendengar tangis kecilmu dulu.
Menyinggung kisah bayi tong sampah yang sedikit kutulis tadi. Mereka -kubilang- tak mendapat cinta yang utuh, tapi aku bisa pastikan, mereka merindukan bapak dan ibunya. Meski hanya sekedar ingin tahu nama, tapi rindu itu ada. Malulah jika kalian sempat merasakan cinta utuh bapak dan ibu, lantas kalian terlantarkan mereka di panti-panti tempat renta lainnya memiliki kisah yang sama.
Na’udzubillahi min dzalik..
           


**Hanya sendiri (11.50  WIB)
Di ruang TV rumah (Kotaanyar, Probolinggo), 22 Agustus  2012
Laili Nurilliya







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LaLa's Latest Stories LaLa's Older Stories My Balcony