Pada tiap garis tak lurus di kiri kanan wajah, kisah itu bermula
dan berakhir.
Serasi dengan keriput, kisah itu berlipat tak pula lurus.
Tetap saja sempat si raut runcingkan ujung bibir, pun pamerkan
rentetan gigi yang hilang satu dua.
Tugasmu usai, suapan beras yang harusnya kau makan sudah jadikan
bocahmu sanggup suapi dirinya.
Hingga ia lupa bercita hendak suapimu kelak kala rentamu menyusul.
…
…
Perjuangan merawat ‘perut buncit’ plus kesakitan saat
ngeluarin bayi di dalamnya hingga sekedar ngasih ASI atau bahkan kasih sayang,
semua nampaknya bukan hal yang ‘wajib’ disesali jika lagi-lagi atas alasan uang
dan malu. Seenaknya saja para mantan perut buncit itu membuang bayi mereka di
teras panti asuhan bahkan tong sampah. Belum
sempat si bayi merengek inginkan ASI, ia sudah harus menjerit kesulitan
bernafas pun kesakitan digigit nyamuk. Beruntung jika ada yang menggendongnya
pulang, lantas jika tidak.?!?. Entahlah.
Tapi kali ini aku belum
berselera mengisahkan ‘bayi tong sampah’ itu. Terlalu panjang. Terlalu
emosional.
Aku hanya masih
ingin mengisahkan ‘mereka’ lain, dengan nasib tak jauh berbeda.
Menyedihkan. Mereka yang tak membuang bayi dan menyiakan sakit saat
melahirkannya.
Mereka yang gembira di tiap detik rengekan bayinya meminta ASI. Mereka
yang tak
ingin biarkan bayinya tumbuh tanpa kasih
sayang dan cintanya. Namun mereka yang
tak pernah berharap terbuang dan teracuh di saat rentanya.
Kukisahkan pada
mereka -para bayi- yang beruntung tak bernasib sama dengan bayi tong sampah
itu. Yang seharusnya gigit jari jika bayangkan hal serupa terjadi pada mereka.
Yang tumbuh bak perawan dan perjaka atas gendongan hangat di sela ketiak ibunya.
Mereka bayi beruntung. Sangat beruntung,
kubilang.
Mulanya, aku
merinding melihat tayangan di salah satu stasiun TV swasta. Menceritakan
tentang para ibu dan ayah lansia yang mengharap bocahnya datang menjenguk
mereka barang sebentar. Meski berbekal kehidupan yang ditopang oleh lembaga panti
jompo, mereka tetap rindukan bocahnya.
Saat itu, kamera tertuju pada sepasang kakek nenek. Duduk nikmati sore di teras panti jompo. Sadar akan kunjungan tim acara TV tersebut, mereka tampak malu-malu tersenyum pada kamera. Salah tingkah, tepatnya. Lantas seorang tim menghampiri mereka. Cukup satu pertanyaan saja, "Kakek sama Nenek sedang apa disini?". Seakan ingin langsung sampaikan isi hati mereka, satu jawaban pun cukup, "Jenguk bapak ibumu ini, nduk”,
samar suara seorang kakek berwajah termakan keriput itu. Tak ada pertanyaan lagi. Hanya satu saja. Aku yang hanya penonton acara TV tersebut sudah bisa memahami. Di teras itu mereka menanti anak-anaknya. Bulu kudukku berdiri.
Serasa persediaan air mataku keluar tanpa permisi. Sesekali, kakek nenek itu
tertawa dengan guyonan yang -menurutku- tak lucu tapi sukses membuat mereka sedikit
menepi dari pahit dan sepinya hidup.
Ah.. apa ini?. Aku tahu aku bukan
termasuk kategori anak yang patuh pada orang tua. Tapi aku mencintai mereka.
Pun menyayangi dengan caraku sendiri. Dengan niatku membuat mereka bangga
padaku kelak. Hingga tak ada rasa sia telah membesarkanku. Bukan mengacuhkan dan
membiarkan mereka merengek meminta bocahnya datang atau bahkan meminta agar
mereka diakui sebagai orang tua.
Sadarilah, dulu tangan keriput itu
yang membuang berak dan kemihmu. Bibir tipis itu pula yang menciun ubunmu
dengan bisikan bait indah pada Tuhanmu. Lalu, apa lagi yang kau ingini darinya?
sampai-sampai kau tak sudikan waktumu sekedar
menyuapi dan menyisir ubannya. Sungguh bukan ini yang bapak ibumu harap
saat pertama mendengar tangis kecilmu dulu.
Menyinggung kisah bayi tong sampah
yang sedikit kutulis tadi. Mereka -kubilang- tak mendapat cinta yang utuh, tapi
aku bisa pastikan, mereka merindukan bapak dan ibunya. Meski hanya sekedar
ingin tahu nama, tapi rindu itu ada. Malulah jika kalian sempat merasakan cinta
utuh bapak dan ibu, lantas kalian terlantarkan mereka di panti-panti tempat
renta lainnya memiliki kisah yang sama.
Na’udzubillahi
min dzalik..
**Hanya sendiri (11.50 WIB)
Di ruang TV rumah (Kotaanyar, Probolinggo), 22 Agustus 2012
Laili Nurilliya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar